BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sejarah telah
mengungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang
memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam
mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam masyarakat Indonesia
yang adil dan makmur. Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan
sebagai dasar negara seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran,
kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang
mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia. Menyadari bahwa
untuk kelestarian kemampuan dan kesaktian Pancasila itu, perlu diusahakan
secara nyata dan terus menerus penghayatan dan pengamamalan nilai-nilai luhur
yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap
penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga
kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah.
B. Rumusan
Masalah
Untuk menghidari
adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis membatasi
masalah-masalah yang akan di bahas diantaranya:
1. Bagaimana
sejarah pancasila?
2. Bagaimanakah
pancasila sebagai dasar negara?
3. Bagaimana
pancasila di era globalisasi?
C. Tujuan
Penulisan
Dalam menyusun makalah ini penulis
mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
1. Penulis
ingin mengetahui sejarah pancasila.
2. Penulis
ingin mengetahui pancasila sebagai dasar Negara.
3. Penulis
ingin mengetahui bagaimana pancasila di era globalisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pancasila Di Era
Globalisasi
Realitas
kontemporer memperlihatkan bahwa tantangan terhadap ideologi Pancasila, baik
kini maupun nanti, beberapa di antaranya telah tampak di permukaan. Tantangan
dari dalam di antaranya berupa berbagai gerakan separatis yang hendak
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apa yang
terjadi di Aceh, Maluku, dan Papua merupakan sebagian contoh di dalamnya. Penanganan
yang tidak tepat dan tegas dalam menghadapi gerakan-gerakan tersebut akan
menjadi ancaman serius bagi tetap eksisnya Pancasila di bumi Indonesia. Bahkan, bisa jadi akan
mengakibatkan Indonesia
tinggal sebuah nama sebagaimana halnya Yugoslavia dan Uni Soviet. Tidak
kalah seriusnya dengan tantangan dari dalam, Pancasila juga kini tengah
dihadapkan dengan tantangan eskternal berskala besar berupa mondialisasi atau
globalisasi.
Globalisasi yang
berbasiskan pada perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan
transportasi, secara drastis telah mentransendensi batas-batas etnis bahkan
bangsa. Jadilah Indonesia
kini, tanpa bisa dihindari dan menghindari, menjadi bagian dari arus besar
berbagai perubahan yang terjadi di dunia. Sekecil apa pun perubahan yang
terjadi di belahan dunia lain akan langsung diketahui atau bahkan dirasakan
akibatnya oleh Indonesia.
Sebaliknya, sekecil apa pun peristiwa yang terjadi di Indonesia secara cepat akan menjadi
bagian dari konsumsi informasi masyarakat dunia.
Pengaruh dari
globalisasi ini dengan demikian begitu cepat dan mendalam. Menjadi sebuah
petanyaan besar bagi bangsa Indonesia,
sanggupkah Pancasila menjawab berbagai tantangan tersebut? Akankah Pancasila
tetap eksis sebagai ideologi bangsa? Jawabannya tentu akan terpulang kepada
bangsa Indonesia
sendiri sebagai pemilik Pancasila. Namun demikian, kalaulah kemudian mencoba
untuk mencari jawaban atas berbagai tantangan tersebut maka jawabannya adalah
bahwa Pancasila akan sanggup menghadapi berbagai tantangan tersebut asalkan
Pancasila benar-benar mampu diaplikasikan sebagai weltanschauung bangsa Indonesia.
Implikasi dari dijadikannya Pancasila sebagai pandangan hidup maka bangsa yang
besar ini haruslah mempunyai sense of belonging dan sense of pride atas
Pancasila.
Untuk menumbuhkembangkan
kedua rasa tersebut maka melihat realitas yang tengah berkembang saat ini
setidaknya dua hal mendasar perlu dilakukan. Penanaman kembali kesadaran bangsa
tentang eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Penanaman kesadaran
tentang keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa mengandung pemahaman
tentang adanya suatu proses pembangunan kembali kesadaran akan Pancasila
sebagai identitas nasional. Upaya ini memiliki makna strategis manakala
realitas menunjukkan bahwa dalam batas-batas tertentu telah terjadi proses
pemudaran kesadaran tentang keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Salah
satu langkah terbaik untuk mendekatkan kembali atau membumikan kembali
Pancasila ke tengah rakyat Indonesia
tidak lain melalui pembangunan kesadaran sejarah. Tegasnya Pancasila didekatkan
kembali dengan cara menguraikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
perjuangan rakyat Indonesia, termasuk menjelaskannya bahwa secara substansial
Pancasila adalah merupakan jawaban yang tepat dan strategis atas keberagaman
Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini maupun masa yang akan datang.
B. Pemahaman
Tentang Pancasila Dalam Era Globalisasi
Kata Pancasila
terdiri dari dua kata dari bahasa Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia berisi
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan
Yang Adil Dan Beradab
3. Persatuan
Indonesia
4. Kerakyatan
Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dan globalisasi
adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan
ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui
perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi
yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Negara Republik Indonesia
memang tergolong masih muda dalam pergaulan dunia sebagai bangsa yang merdeka.
Tetapi, perlu diingat, sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia
telah ada jauh sebelum Indonesia
merdeka. Kebesaran dan kegemilangan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, atau
Mataram, menjadi bukti nyata. Kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara bahkan
sampai negeri seberang. Sayangnya, masa emas kerajaan-kerajaan tersebut hilang
dan berganti dengan kehidupan masa kolonialisme dan imperialisme. Selama tiga
setengah abad bangsa dan rakyat Indonesia
hidup dalam kegelapan dan penderitaan. Baru pada 17 Agustus 1945, bangsa dan
rakyat Indonesia
dapat kembali menegakan kepala melalui proklamasi kemerdekaan. Jadi, Pancasila
bukan mendadak terlahir pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,
tetapi melalui proses panjang sejalan dengan panjangnya perjalanan sejarah
bangsa Indonesia.
C. Proses
Perjalanan Pancasila menuju Era Globalisasi
Pancasila
terlahir dalam nuansa perjuangan dengan melihat pengalaman dan gagasan-gagasan
bangsa lain, tetapi tetap berakar pada kepribadian dan gagasan-gagasan bangsa Indonesia
sendiri. Oleh sebab itu, Pancasila bisa diterima sebagai dasar negara Indonesia
merdeka. Sejarah telah mencatat, kendati bangsa Indonesia pernah memiliki tiga kali
pergantian UUD, tetapi rumusan Pancasila tetap berlaku di dalamnya. Kini, yang
terpenting adalah bagaimana rakyat, terutama kalangan elite nasional,
melaksanakan Pancasila dalam segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jangan lagi menjadikan Pancasila sekadar rangkaian kata-kata indah tanpa makna.
Jika begitu, maka Pancasila tak lebih dari rumusan beku yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945. Pancasila akan kehilangan makna bila para elite tidak mau
bersikap atau bertindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Bila Pancasila
tidak tersentuh dengan kehidupan nyata, Pancasila tidak akan bergema. Maka,
lambat-laun pengertian dan kesetiaan rakyat terhadap Pancasila akan kabur dan
secara perlahan-lahan menghilang. Maka, guna meredam pengaruh dari luar perlu
dilakukan akulturasi kebudayaan. Artinya, budaya dari luar disaring oleh budaya
nasional sehingga output yang dikeluarkan seusai dengan nilai dan norma bangsa
dan rakyat Indonesia.
Memang masuknya pengaruh negatif budaya asing tidak dapat lagi dihindari,
karena dalam era globalisasi tidak ada negara yang bisa menutup diri dari dunia
luar.
Oleh sebab itu,
bangsa Indonesia
harus mempunyai akar-budaya dan mengikat diri dengan nilai-nilai agama, adat
istiadat, serta tradisi yang tumbuh dalam masyarakat. Di depan Sidang Umum PBB,
30 September 1960, Presiden Soekarno menegaskan bahwa ideologi Pancasila tidak
berdasarkan faham liberalisme ala dunia Barat dan faham sosialis ala dunia
Timur. Juga bukan merupakan hasil kawinan keduanya. Tetapi, ideologi Pancasila
lahir dan digali dari dalam bumi Indonesia sendiri. Secara singkat
Pancasila berintikan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama), nasionalisme (sila
kedua), internasionalisme (sila ketiga), demokrasi (sila keempat), dan keadilan
sosial (sila kelima). Dalam kehidupan kebersamaan antar bangsa di dunia, dalam
era globalisasi yang harus diperhatikan, pertama, pemantapan jatidiri bangsa.
Kedua, pengembangan prinsip-prinsip yang berbasis pada filosofi kemanusiaan
dalam nilai-nilai Pancasila, antara lain:
1. Perdamaian
bukan perang.
2. Demokrasi
bukan penindasan.
3. Dialog
bukan konfrontasi.
4. Kerjasama
bukan eksploitasi.
5. Keadilan
bukan standar ganda.
D. Pancasila
Bersifat Universal
Tata nilai
universal yang dibawa arus globalisasi saat ini sebenarnya tak lebih
nilai-nilai Pancasila dalam artian yang luas. Cakupan dan muatan globalisasi
telah ada dalam Pancasila. Karena itu, mempertentangkan ideologi Pancasila
dengan ideologi atau faham lain tak lebih dari sekadar kesia-siaan belaka.
Selain itu, selama masih terjadi pergulatan pada faham dan pandangan hidup, bangsa
dan rakyat Indonesia
akan terus berada dalam kekacauan berpikir dan sikap hidup. Menggantikan
Pancasila sebagai dasar negara tidak mungkin karena faham lain tidak akan
mendapat dukungan bangsa dan rakyat Indonesia.
Pancasila dapat
ditetapkan sebagai dasar negara karena sistem nilainya mengakomodasi semua
pandangan hidup dunia internasional tanpa mengorbankan kepribadian Indonesia.
Sesungguhnya, Pancasila bukan hanya sekadar fondasi nasional negara Indonesia,
tetapi berlaku universal bagi semua komunitas dunia internasional. Kelima sila
dalam Pancasila telah memberikan arah bagi setiap perjalanan bangsa-bangsa di
dunia dengan nilai-nilai yang berlaku universal. Tanpa membedakan ras, warna
kulit, atau agama, setiap negara selaku warga dunia dapat menjalankan Pancasila
dengan teramat mudah. Jika demikian, maka cita-cita dunia mencapai keadaan
aman, damai, dan sejahtera, bukan lagi sebagai sebuah keniscayaan, tetapi
sebuah kenyataan. Mengapa? Karena cita-cita Pancasila sangat sesuai dengan
dambaan dan cita-cita masyarakat dunia. Bukankah kondisi dunia yang serba
carut-marut seperti sekarang ini diakibatkan oleh faham-faham di luar
Pancasila? Bukankah secara de facto faham komunisme telah gagal dalam
memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyat Uni Soviet? Bukankah faham
liberalisme banyak mendapat tentangan dari negara-negara berkembang? Sebetulnya
Indonesia
bisa melepaskan diri dari perangkap hegemonik negara-negara maju. Cina, Korea
Selatan, Brazil,
India,
dan masih banyak negara lain yang notabene sebelumnya termasuk negara
berkembang, berhasil menunjukkan jalan keluar untuk lepas dari perangkap
neoliberalisme. Upaya melepaskan diri dari jerat neoliberalisme tersebut mampu
mereka lakukan dengan mengandalkan kekuatan lokal yang terus dibangun dan digunakan
sebagai senjata dalam menghadapi pasar bebas. Dominasi negara-negara berkembang
dapat mencapai titik lelahnya jika, kekuatan-kekuatan lokal negara berkembang
mampu ditingkatkan.
Dalam hal ini
tentu saja peran negara menjadi sangat strategis dalam mengembangkan kekuatan
lokal tersebut. Negeri ini jelas membutuhkan sistem penyeimbang untuk masuk
dalam pasar bebas, baik struktural maupun kultural. Indonesia perlu menata kekuatan
struktural guna melakukan proses penguatan potensi lokal. Negara-negara maju dengan
segala kekurangannya telah terlebih dulu melakukan penguatan struktural. Mereka
memang memiliki sumberdaya alam yang sangat terbatas, namun keterbatasan itu
disiasati dengan manajerial yang sangat kuat dan ketat. Negara maju memiliki
kemampuan lebih dalam merasionalkan sumber-sumber lokalnya dan membuat
mekanisme hukum yang cukup rinci dengan batas-batas yang jelas sebagai langkah
proteksi terhadap aset nasional mereka—hal mana yang belum mampu dilakukan di Indonesia.
Indonesia
sendiri yang memiliki aset-aset strategis, malah bertindak jauh lebih liberal
dari apa yang dilakukan negara-negara maju pencetus liberalisme itu sendiri. Indonesia
tidak membangun mekanisme kontrol yang cukup efektif guna memproteksi aset
nasional agar jangan sampai jatuh ke tangan asing. Kemampuan manajerial Indonesia
dalam menata aset-asetnya inilah yang seharusnya menjadi kunci penentu sebesar
apa peluang kita dalam kancah globalisasi. Penguatan struktural yang perlu
dilakukan adalah pengarusutamaan ekonomi rakyat dan industri lokal dalam
kebijakan dan regulasi pemerintah. Selain penguatan struktural, pembenahan
mental (kultural) bangsa inipun perlu dipikirkan. Harus jujur dan lapang dada
kita akui bahwa saat ini bangsa Indonesia
memiliki kebiasaan kultural “mentalitas orang kalah”. Kerap kali kita terlalu
terbuka menerima pengaruh dari luar. Ironisnya, pengaruh luar yang masuk
ditelan begitu saja. Harusnya ada transformasi kebudayaan yang cukup besar
untuk bisa membendung pengaruh tersebut.
Indonesia
perlu menggali betul segala potensi yang tersimpan dalam bumi pertiwi ini.
Ambil contoh, Cina. Sejarah kebudayaan panjang yang mereka lalui telah mampu
membangun Cina seperti sekarang yang mampu menegakkan kepala saat berhadapan
dengan kepentingan asing. Identitas kolektif kebangsaan mereka pun malah
semakin menguat. Indonesia
seharusnya mampu melakukan perubahan sebagaimana yang telah ditunjukkan negara
berpopulasi terpadat tersebut. Akan tetapi, langkah yang ditempuh Indonesia
tentu saja harus berbeda dengan Cina. Bukan semata ingin tampil beda, akan
tetapi perbedaan realitas objektif dari masing-masing negara harus disikapi
dengan cara berbeda pula. Dalam menyikapi konstelasi global, Indonesia dituntut untuk bermain
dengan caranya sendiri.
Kondisi objektif
pluralitas masyarakat Indonesia
merupakan salah satu ciri khas yang harus mampu ditata dengan membangkitkan
kekuatan-kekuatan lokal. Apa yang menjadi kekurangan kita selama ini adalah
belum terbangunnya sebuah kebanggaan atas apa yang kita miliki sebagai bagian
integral dari diri kita sendiri—sebuah problem mentalitas yang hingga hari ini
belum mampu kita rubah. Di sinilah sesungguhnya sikap maupun peran kepemimpinan
nasional diharapkan. Sikap kepemimpinan nasional pada akhirnya akan sangat
menentukan bagaimana identitas kolektif kebangsaan melalui potensi lokal dapat
terbangun. Nation character building yang dilakukan Soekarno pada fase awal
pemerintahan Republik kini seakan tak lagi nampak. Pembangunan karakter
nasional tidak lain adalah upaya membangun identitas kolektif kebangsaan dalam
wadah Republik. Akan tetapi, dalam proses itu, pendekatan top-down yang
dilakukan orde baru tidak perlu diulang lagi. Pendekatan tersebut justru
menimbulkan sinisme masyarakat terhadap potensi lokal, termasuk Pancasila.
Menyikapi hal
tersebut, Indonesia
sesungguhnya memiliki satu pamungkas yang sesungguhnya menyatukan sekian
potensi lokal dalam sebuah perahu untuk mengarungi arus globalisasi, yakni
Pancasila. Sayangnya, pamungkas itu bak pusaka yang tak tersentuh dan
diperlakukan bak kendaraan bemo. Pancasila merupakan sebuah kekuatan ide yang
berakar dari bumi Indonesia untuk menghadapi nilai-nilai dari luar, sebagai
sistem syaraf atau filter terhadap berbagai pengaruh luar, nilai-nilai dalam
Pancasila dapat membangun sistem imun dalam masyarakat kita terhadap
kekuatan-kekuatan dari luar sekaligus menyeleksi hal-hal baik untuk diserap,
dan sebagai sistem dan pandangan hidup yang merupakan konsensus dasar dari
berbagai komponen bangsa yang plural ini. Lewat Pancasila, moral sosial,
toleransi, dan kemanusiaan, bahkan juga demokrasi bangsa ini dibentuk.
Pancasila
seharusnya dijadikan sebagai poros identitas untuk menghadapi bermacam
identitas yang ditawarkan dari luar. Sangat disayangkan jika wacana Pancasila
belakangan ini mulai berkurang. Mengingat berbagai potensi yang tersimpan di
dalamnya, wacana nasional ini perlu untuk dimunculkan kembali, dibangkitkan
kembali dan digali terus nilai-nilainya agar terus berdialektika dalam jaman
yang terus bergulir. Untuk itu Pancasila harus bisa kita telaah secara
analitis. Pancasila dengan kekayaan nilainya sudah selayaknya digali,
diperdalam, lalu dikontekstualisasikan lagi pada perkembangan situasi kekinian
yang kita hadapi; terlebih jika Pancasila benar-benar ingin diteguhkan sebagai
ideologi bangsa. Satu hal yang menjadi tanya atas Pancasila adalah bagaimana
nilai-nilai lokal tersebut diturunkan menjadi mode of production untuk menjawab
kebutuhan pragmatis hari ini.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Peran Pancasila
sangat penting dalam menghadapi arus globalisasi. Karena Pancasila merupakan
sebuah kekuatan ide yang berakar dari bumi Indonesia untuk menghadapi
nilai-nilai dari luar, sebagai sistem syaraf atau filter terhadap berbagai
pengaruh luar, nilai-nilai dalam Pancasila dapat membangun sistem imun dalam
masyarakat kita terhadap kekuatan-kekuatan dari luar sekaligus menyeleksi
hal-hal baik untuk diserap, dan sebagai sistem dan pandangan hidup yang
merupakan konsensus dasar dari berbagai komponen bangsa yang plural ini. Lewat
Pancasila, moral sosial, toleransi, dan kemanusiaan, bahkan juga demokrasi
bangsa ini dibentuk. Pancasila seharusnya dijadikan sebagai poros identitas
untuk menghadapi bermacam identitas yang ditawarkan dari luar. Tetapi sangat
disayangkan jika wacana Pancasila belakangan ini mulai berkurang. Mengingat
berbagai potensi yang tersimpan di dalamnya, wacana nasional ini perlu untuk
dimunculkan kembali, dibangkitkan kembali dan digali terus nilai-nilainya agar
terus berdialektika dalam jaman yang terus bergulir. Untuk itu Pancasila harus
bisa kita telaah secara analitis. SARAN Perlu ditanamkannya nilai – nilai dalam
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Agar kita mampu memfilterisasi arus
globalisasi yang ada. Sesuaikah dengan nilai – nilai Pancasila. Pancasila dapat
berperan dalam era globalisasi apabila dari diri masing – masing sudah tertanam
nilai – nilai luhur Pancasila. Tentu akan percuma peran Pancasila dalam era
globalisasi ini, apabila dalam diri sendiri tidak mempunyai kesadaran akan
pentingnya nilai – nilai Pancasila dalam kehidupan.
B. Saran
– Saran
Sebagai warga
Negara Indonesia kita wajib
menghargai segala nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila, mengingat
pancasila adalah falasah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersatu dan
berdaulat.
DAFTAR PUSTAKA
- www.makalahanakremaja.com
- www.google.com www.wikipedia.org
- www.arischeaters.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar